Sabtu, 11 April 2009

Tarbiyah Hisysyi Al-Jamaali

Ditengah arus kredo materialistik ini, umat manusia tengah asyik-masyuk berkubang, atau bahkan menenggelamkan diri. Membiarkan mata-telinga-hati
mereguk fenomena global village dengan tenang tanpa ada sedikitpun Guilty feeling.
Innalillahi


Prolog

Manusia telah kehilangan rasa keindahannya. Barangkali warna hitam bisa menjadi putih lantaran mabuk dunia! Manusia tidak lagi bisa menikmati nikmatnya cericit burung pemakan padi yang bertasbih kepada Rabb-NYA, untuk kemudian tersungkur malu karena dirinya tidak lagi bertasbih bersama sang burung. Manusia tidak lagi bisa menikmati gemericik air disungai yang mengalunkan nada-nada ilahi, bahkan manusia tidak perlu lagi mencucurkan air mata mendengar ayat-ayat adzab Al-Qur’an dibacakan. Inilah musibah peradaban ketika manusia kehilangan nalurinya terhadap keindahan.
Dalam teori holistic dinamyc, dikatakan bahwa kebutuhan manusia itu berjenjang, dimulai dari barang-barang fisiologis (makan, minum, seks, perumahan), kemudian keamanan (safety), kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan penghargaan (esteem), kebutuhan aktulisasi diri (self-fulfilment), kebutuhan akan pengetahuan, lantas yang tertinggi adalah kebutuhan akan keindahan. Tentunya apa yang dipaparkan dalam teori tersebut amat mengada-ada, jelasnya manusia memiliki semua motif diatas tanpa jenjang, hanya saja membedakannya adalah kadar antar individu. Dan rupanya manusia secara perlahan-lahan mengikis sendiri sedikit demi sedikit motif tersebut, yang pertama hilang adalah motif terhadap keindahan, betapa tidak? Banyak manusia menganggap sadisme, pornografi, free seks, kolusi dan korupsi sebagai kewajaran. Bukankah itu pertanda mereka telah kehilangan rasa keindahan terhadap keimanan?
Menjadi tugas pendidikan untuk menyadarkan kembali manusia pada hakekat dirinya, yaitu Tarbiyah Islamiyah Mutakamilah (Pendidikan islami yang sempurna), satu-satunya obat untuk mengobati hati yang sekarat itu.

Tarbiyah Hisysyi Al- Jamaali

Tidak selayaknya yang dikemukakan Plato, Aris Toteles, Vittorino Deogeltre, Francis Beacon, dan Letre yang hanya menekankan aspek akal dan fisik. Melirik sejenak defenisi Pendidikan Sir Francis Beacon (1561-1626), sebagaimana ia katakan: “Pendidikan bukanlah tujuan akhir untuk mencetak generasi ilmuwan yang mengenal ilmu dengan cara meniru sistem yang sudah ada (tradisional) tetapi tujuan pendidikan adalah membuka alam pikiran mereka dan mengarahkan untuk mencari ilmu sehingga mereka bisa mengambil manfaat darinya bila diperlukan. Caranya adalah dengan memberi mereka kebebasan berpikir sampai dapat mencapai setiap ilmu pengetahuan dan memahaminya.” Tujuan Tarbiyah Islamiyah (Pendidikan Islam) menyentuh tiga aspek diri manusia, akal, fisik dan hati. Yang terakhir ini kerap kali dilupakan oleh manusia, akibatnya tidak ada beda dengan binatang, bahkan lebih sesat lagi!
Menurut Al-Imam Baidhowi, tarbiyah mempunyai akar kata Rabb (salah satu asma Allah), dengan makna mengajarkan sesuatu sedikit demi sedikit kemudian disifati dengan asma Allah SWT dengan ditinggikan setinggi-tingginya, kemudian Tarbiyah juga diartikan dengan : Suatu usaha untuk merealisasikan pertumbuhan yang teliti, teratur, seimbang bagi seluruh persiapan pribadi secara ruhiyah, jasmani, dan akal sampai mencapai kesempurnaannya.
Demikianlah, tujuan pendidikan yang mulia, membawa manusia kembali kepada kesempurnaan penciptanya, salah satu aspek dari Tarbiyah Islamiyah adalah tarbiyah hisysyi al-jamaali, pendidikan untuk menajamkan perasaan atas keindahan. Hanya manusia yang dapat merasakan keindahan ciptaan Allah sajalah, yang tergerak untuk memuliakan-NYA, menjaga ciptaan-NYA, bahkan mengelola bumi-NYA dengan baik, bukan malah sebaliknya menjadi kaum perusak dimuka bumi!
Pendidikan yang mengarahkan kita untuk mempertajam rasa keindahan, tak pelak lagi sangat penting artinya. Rasulullah sendiri bersabda “Innallaha jamiilun wa yuhibbul Jamiil.” (Allah itu indah dan mencintai keindahan). Hati mana yang tidak merasakan betapa indahnya ciptaan Allah ini? Bumi yang dihamparkan, langit yang ditinggikan tanpa tiang, hanya hati sekarat yang tidak bisa tersentuh oleh keindahan. Oleh sebab itu Tarbiyah Hisysyi Al-Jamaali memiliki beberapa adhaf (sasaran), yaitu:
  1. Taujih Lil Insaan Nakhwal Jamaali Fii Makhluqaatillah (Mengarahkan manusia untuk mampu melihat keindahan ciptaan Allah)

    Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, selisih antara malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal (ulil albab).” (QS. 3:191).
    Mencermati alam ini dengan mata batin (bhasirah), seharusnya membuat manusia tersungkur ta’zhim kepada sang Pencipta Alam Jagad Raya, Sang Pelukis Agung alam semesta. Tapi rupanya manusia hanya sibuk bersicepat dengan waktu untuk berlomba-lomba merusak keindahan alam ini.
    Gradasi warna pelangi, langit yang membiru, atau hembusan angin sepoi, bahkan tidak lagi mampu memalingkan manusia dari pemujaannya terhadap dunia, inilah fenomena kesyirikan terselubung. Mencintai keindahan ciptaan Allah akan membawa manusia mencintai Penciptanya, sehingga menikmati keindahan adalah seni tersendiri, hanya mereka yang menghargai seni yang agung (ciptaan Allah) yang mampu merasakan denyut-denyut kerinduan untuk bertemu yang Maha Indah.

  1. Ta’shiriirul Insaan Bitanaasuqi Al Hayaatil Insaaniyah (Menajamkan pandangan manusia atas keserasian hubungan antar manusia

    Keserasian hidup berdampingan antar sesama manusia, yang penuh dengan ketentraman, ketenangan, keindahan, seakan menjadi barang langka di era global ini. Barangkali inilah ekses dari pemikiran manusia yang kian ekstrim kekanan atau ekstrim kekiri tentang bentuk sebuah peradaban masyarakat, padahal Islam mengajarkan untuk berpikir wasath (pertengahan).
    Mereka yang berpikir bahwa keserasian hidup antar manusia hanya bisa diraih dengan mementingkan kepentingan masyarakat diatas kepentingan individu akhirnya melahirkan jargon-jargon kolektivisme, holoisme, organisisme, yang di bidani oleh Auguste Comte, Herbert Spencer, Vilfedo Frotier, dan keronco-keronco sejawatnya yang pada klimaks pemikiran mereka malah berpikir sangat dangkal, berpikir bahwa selera, rasa, keinginan, meanusia semua ceteris paribus, dengan mengangkat kredo sosialisme! Endingnya meremajakan pandangan individulaisme, dan materalisme yang telah disediakan kerandanya untuk dikuburkan bersamaan dengan kredo sosialisme diatas.
    Islam telah mengajarkan, “Umat Islam adalah umat yang satu…..” (QS. 2:213) Kalaupun ada perbedaan pandangan yang menyebabkan manusia menjadi unik satu sama lain, itu adalah tanda-tanda kebesaran-NYA (QS. 30:22). Islam mengajarkan kesatuan umat, sekaligus mengakui hak-hak individual, dan inilah pemikiran yang wasath, dalam pengertian luas berarti tidak berat sebelah.

  1. Tanmiyatul Insaan Qudratuhu Wa Khawaasahu Liya’dira ‘ala Tamyizi Ad-daqiiqi Masyaahidi Al-kaun (Menumbuhkan kemampuan manusia dan kepekaannya agar dapat membedakan secara detil fenomena-fenomena alam)

    Manusia ditantang oleh Allah untuk memperhatikan secara detail fenomena-fenomena alam semesta. Mulai dari penciptaan unta, langit yang ditinggikan, gunung-gunung yang ditegakkan, sampai penghamparan bumi ini. (QS. 88:17-19).
    Kemudian dari sinilah timbul teknologi, manusia tidak pernah intidzor (mengamati) tidak akan pernah tergerak untuk menyelidiki! Manusia dianugerahi kemampuan untuk mengelola alam ini, menjadi khalifah Allah dimuka bumi. Sayangnya masih banyak yang lalai darpada yang iman, lebih banyak yang tidur daripada yang jaga.

  1. Ta’kiidu ‘ala Al-jamaali Sifat Min Khalqillah Liyansajima ma’a Al-hayaah (Menguatkan kembali bahwa keindahan adalah sifat dari ciptaan Allah)

    Siapapun yang bercermin dan melihat pantulan Wajahnya pasti mengagumi ciptaan Allah berupa wajah ini, atau berdiri sejenak ditepi pantai menatap mentari yang beringsut tenggelam ditelan garis cakrawala, mustahil jika tidak berdecak kagum melihatnya. Maha benar Allah yang berfirman:
    “…..Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalan keadaan payah.” (QS. 67:3-4)
    Sayang, memang manusia amat bodoh! Hanya terhenti sebatas kekaguman yang tidak berujung pada keimanan, alangkah ruginya. Dan lebih bodoh lagi, tidak hanya terhenti pada kekaguman kosong, manusia bahkan merusak keindahan ciptaan Allah ini, menyebarkan kejahatan, kebusukan moral, meracuni bumi dengan produk-produk jahiliyahnya, naudzubillah min dzalik.

Penutup

Sementara orang menganggap pendidikan tentang keindahan (seni), tak perlu ditanamkan, padahal esensi dari pendidikan tentang keindahan menyangkut keimanan. Basic kehidupan manusia, rasa indah lah yang mampu membuat manusia menitikkan airmatanya, kemudian membasahi hatinya yang keras, dan akhirnya luruh dalam kebesaran Yang Maha indah. Wahai Ikwah sudah saatnya lah kita tanamkan rasa seni dalam memuja Dia, agar hidup ini terasa lebih bermakna. Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar: